Kamis, 18 Maret 2010

sejarah gajah mada

Asal-usul Patih Gajah Mada Asli Lamongan Diteliti

Senin, 22 Juni 2009 | 07:00 WIB

TEMPO Interaktif, Lamongan: Pemerintah Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, membentuk tim untuk penelusuran sejarah Gajah Mada. Tim diarahkan pada penggalian data menyangkut kemungkinan bahwa Maha Patih Majapahit yang dikenal dengan Sumpah Palapa itu berasal dari Lamongan.

Tim yang dibentuk oleh Bupati Masfuk dan mulai bekerja pekan ini diperkuat sejumlah budayawan. Pelaksana tugas Asisten Administrasi Lamongan, Aris Wibawa, kemarin mengatakan tim akan melakukan riset sejarah Gajah Mada di sejumlah museum di Surabaya, juga Trowulan, Mojokerto, dan beberapa tempat peninggalannya.

Aris menyebutkan, dalam seminar dan rembuk budaya di Lamongan beberapa waktu lalu, dibahas keberadaan dan asal-usul Gajah Mada. Budayawan Lamongan Viddy A.D. Daery menyebutkan sejumlah cerita rakyat mengisahkan bahwa Gajah Mada adalah anak kelahiran Desa Mada (sekarang Kecamatan Modo, Lamongan). Di zaman Majapahit (1293-1527), wilayah Lamongan bernama Pamotan.

Berdasarkan cerita rakyat, Gajah Mada adalah anak Raja Majapahit secara tidak sah (istilahnya lembu peteng atau anak haram) dengan gadis cantik anak seorang demang (kepala desa) Kali Lanang. Anak yang dinamai Joko Modo atau jejaka dari Desa Mada itu diperkirakan lahir sekitar tahun 1300.

Kakek Gajah Mada, yang bernama Empu Mada, membawa Joko Modo ke Desa Cancing, Kecamatan Ngimbang. Wilayah yang lebih dekat dengan Biluluk, salah satu pakuwon di Pamotan, benteng Majapahit di wilayah utara. Sedangkan benteng utama berada di Pakuwon Tenggulun, Kecamatan Solokuro.

Salah satu bukti fisik bahwa Gajah Mada lahir di Lamongan ialah situs kuburan Ibunda Gajah Mada di Desa Ngimbang. Digambarkan, Joko Modo ketika itu berbadan tegap, jago kanuragan didikan Empu Mada. Di kemudian hari, dia diterima menjadi anggota Pasukan Bhayangkara (pasukan elite pengawal raja) di era Raja Jayanegara.

Ia menyelamatkan Jayanegara yang hendak dibunuh Ra Kuti, patih Majapahit. Gajah melarikan Jayanegara ke Desa Badander (sekarang masuk wilayah Bojonegoro) di wilayah Pamotan. Dari bukti-bukti itu, tim pelacakan Gajah Mada akan membuat dokumen. Tim akan bekerja sekitar enam bulan langsung di bawah pengarahan bupati.

Rabu, 17 Maret 2010

Lhokseumawe – Pasca-penggerebekan kamp militer kelompok bersenjata di pegunungan Jalin, Jantho, Aceh Besar, Provinsi Aceh, dua pekan lalu. Polisi di sepanjang jalan lintas Banda Aceh menuju Medan melakukan razia angkutan penumpang dengan cara memeriksa barang dan kartu identitas.

Berdasarkan pengamatan Tempo pukul 00.00 polisi menggelar razia di sejumlah tempat di lintasan Jalan Banda Aceh-Medan, seperti di depan kantor Kepolisian Sektor Muara Dua Kota Lhokseumawe dan di depan Mapolres Kota Lhokseumawe. Polisi menyetop angkutan umum dan pribadi yang berangkat dari arah Banda Aceh menuju Medan.

Polisi yang merazia memakai seragam polisi dan pakaian preman bersiaga sepanjang 150 meter dengan posisi di badan jalan dan di pinggir jalan menggunakan senapan serbu. ”Ini mengingatkan kita pada kondisi Aceh pada masa konflik, baru sebentar kita bisa bernafas, sudah ada lagi yang ginian,” ujar Marzuki, warga Lhokseumawe yang menumpang taksi L.300 dari Banda Aceh menuju Lhokseumawe.

Sekitar pukul 1.30 Wib dinihari Rabu (3/3) aparat Kepolisian Sektor Padang Tiji, Kabupaten Pidie, menembak hingga tewas seorang penumpang bus angkutan antar-provinsi dari perusahaan bus Kurnia tujuan Medan Sumatera bernomor polisi BL 7344 PB.

Menurut polisi, penembakan tersebut dilakukan karena penumpang tersebut berusaha melarikan diri saat razia dan diklaim polisi sebagai teroris. Setelah menembak mati, polisi juga mengklaim mendapatkan satu pucuk senjata jenis AK-47.

Mayat tersebut bercirikan memakai baju cokelat, celana training, sepatu kets, di semanyamkan di Kepolisian Sektor Padang Tiji, Kabupaten Pidie.